Pajak Ditanggung Pemerintah, Ini Regulasi & Kontroversinya

Dalam diskusi publik mengenai transparansi keuangan negara, isu mengenai pajak ditanggung pemerintah (DTP) kerap menjadi sorotan. Banyak masyarakat mempertanyakan mengapa pajak penghasilan pejabat negara, aparatur sipil negara (ASN), hingga anggota TNI/Polri ditanggung oleh anggaran negara, sementara di sisi lain beban fiskal semakin berat.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar “Apakah skema DTP benar-benar adil dan bagaimana mekanisme sebenarnya dijalankan?”

Sebagai bagian dari kebijakan fiskal, pajak ditanggung pemerintah bukanlah konsep yang sederhana. Meskipun terlihat seolah-olah penerima penghasilan terbebas dari kewajiban pajak, faktanya pajak tetap dipotong dan disetor ke kas negara. Hanya saja, pembiayaan pajak tersebut berasal dari anggaran belanja negara maupun daerah, bukan langsung dari penghasilan bersih penerima.

Apa itu Pajak Ditanggung Pemerintah (DTP)?

Pajak ditanggung pemerintah (DTP) adalah mekanisme di mana beban pajak penghasilan tertentu dibayar menggunakan APBN atau APBD. Hal ini diatur dalam berbagai regulasi, termasuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur tata cara pemotongan dan penyetoran.

Skema ini berlaku khusus untuk penghasilan yang bersumber dari gaji, tunjangan tetap, uang pensiun serta penghasilan rutin lainnya yang dibayarkan dari kas negara atau daerah.

Secara administratif, pajak tetap dihitung sesuai ketentuan umum. Bendahara instansi melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, lalu menyetorkannya ke kas negara. Setelah itu, anggaran yang telah disiapkan digunakan untuk mengganti beban pajak tersebut. Dengan cara ini, take-home pay penerima tidak terpengaruh oleh kewajiban pajak.

Dasar Hukum Pajak Ditanggung Pemerintah

Skema DTP memiliki landasan hukum yang jelas dalam peraturan perundang-undangan, di antaranya:

  • Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 262/PMK.03/2010 tentang tata cara pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan pejabat negara, ASN, anggota TNI/Polri dan pensiunannya yang pajaknya ditanggung pemerintah.
  • Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 92/PMK.03/2023 yang memperbarui ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan dan pertanggungjawaban pajak ditanggung pemerintah.
  • Undang-Undang APBN setiap tahun yang menetapkan alokasi anggaran belanja pegawai termasuk pos pembayaran pajak DTP.

Dengan dasar hukum ini, DTP dipastikan bukanlah bentuk pembebasan pajak, melainkan mekanisme fiskal yang sah dan diatur secara resmi oleh pemerintah.

Subjek yang Termasuk dalam Skema DTP

Tidak semua pihak mendapatkan fasilitas DTP. Berdasarkan regulasi yang berlaku, skema ini hanya berlaku bagi pihak-pihak tertentu, antara lain:

  • Pejabat negara, seperti anggota DPR, menteri, hakim dan pejabat tinggi lainnya.
  • Aparatur Sipil Negara (ASN), baik di pusat maupun daerah.
  • Anggota TNI dan Polri.
  • Penerima pensiun yang pembayaran manfaatnya berasal dari APBN/APBD.

Dengan demikian, DTP lebih bersifat sebagai kebijakan khusus yang hanya menyasar penerima penghasilan tetap dari negara. Artinya, masyarakat umum yang berprofesi sebagai pengusaha, profesional atau pekerja swasta tetap menanggung pajaknya sendiri.

Penghasilan yang Tidak Ditanggung Pemerintah

Meski DTP memberikan fasilitas bagi penghasilan tertentu, tidak semua jenis pendapatan seorang pejabat atau ASN ditanggung oleh negara. Beberapa jenis penghasilan yang pajaknya wajib ditanggung sendiri antara lain:

  • Honorarium dari kegiatan di luar tugas utama yang dibiayai APBN/APBD.
  • Pendapatan usaha atau profesi pribadi.
  • Hasil investasi seperti bunga deposito, dividen atau capital gain.
  • Penghasilan lain yang bersifat non-reguler dan bukan bagian dari gaji pokok atau tunjangan tetap.

Semua penghasilan tersebut tetap wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dan apabila terdapat pajak kurang bayar, maka penerima penghasilan wajib melunasinya.

Dari Mana Sumber DTP?

Sumber pembiayaan pajak ditanggung pemerintah berasal dari pos belanja pegawai dalam APBN atau APBD. Dalam APBN, penerimaan terbesar memang berasal dari pajak, kemudian disusul oleh penerimaan negara bukan pajak (PNBP), hibah dan pembiayaan. Oleh karena itu, wajar apabila masyarakat menilai bahwa DTP sejatinya tetap berasal dari “pajak rakyat”.

Meski demikian, DTP bukanlah bentuk pembebasan pajak. Secara hukum, pajak tetap ada, dipotong dan disetor ke kas negara. Perbedaannya hanya terletak pada siapa yang menanggung beban finansialnya.

Contoh Ilustrasi Perhitungan

Misalkan seorang ASN memiliki penghasilan rutin berupa gaji dan tunjangan sebesar Rp15.000.000 per bulan. Setelah dilakukan penghitungan sesuai lapisan tarif PPh Pasal 21, didapatkan pajak terutang sebesar Rp1.800.000.

Baca juga:  KMK No. 5/KM.10/2025: Panduan Tarif Bunga Pajak April 2025

Dalam skema umum, pajak ini dipotong dari gaji sehingga take-home pay berkurang menjadi Rp13.200.000. Namun, dalam skema DTP, bendahara instansi tetap memotong dan menyetorkan Rp1.800.000 ke kas negara. Selanjutnya, anggaran belanja pegawai menanggung beban pajak tersebut, sehingga ASN tetap menerima gaji bersih Rp15.000.000.

Dampak Fiskal dan Tata Kelola

Skema DTP memiliki implikasi besar terhadap tata kelola fiskal dan kesehatan APBN/APBD. Dari sisi kelebihan, mekanisme ini mempermudah perencanaan anggaran karena take-home pay penerima lebih stabil. Selain itu, kepatuhan administratif lebih terjamin sebab pajak disetorkan langsung oleh bendahara.

Namun, terdapat pula sejumlah dampak fiskal yang perlu diperhatikan secara rinci:

  • Beban Anggaran: Belanja pegawai meningkat karena negara tidak hanya menanggung gaji dan tunjangan, tetapi juga pajak yang semestinya dipotong dari penghasilan.
  • Efisiensi Fiskal: Sebagian ruang fiskal yang seharusnya dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan atau kesehatan menjadi terbatas akibat tingginya pos belanja pegawai.
  • Risiko Defisit: Ketika penerimaan negara tidak sebanding dengan kewajiban belanja, termasuk DTP, maka risiko defisit APBN meningkat dan dapat mendorong kebutuhan pembiayaan utang.
  • Distorsi Keadilan Pajak: Penggunaan dana publik untuk membayar pajak kelompok tertentu menimbulkan kesan ketidakadilan, terutama bagi masyarakat umum yang harus menanggung pajak secara mandiri.
  • Dampak Jangka Panjang: Apabila tidak dievaluasi, skema DTP berpotensi menciptakan rigiditas fiskal, yaitu kondisi ketika sebagian besar anggaran terkunci untuk belanja rutin sehingga sulit dialihkan ke program prioritas lain.

Dengan berbagai dampak tersebut, kebijakan DTP perlu dikelola secara hati-hati agar tidak menggerus fleksibilitas fiskal negara dan tetap sejalan dengan prinsip keadilan sosial.

Kontroversi di Balik Pajak Ditanggung Pemerintah

Selain dampak fiskal, skema DTP memunculkan kontroversi di ruang publik. Kritik utama muncul karena dianggap memberikan keistimewaan kepada pejabat negara dan ASN, sementara masyarakat umum tetap wajib menanggung sendiri kewajiban pajaknya. Beberapa kontroversi yang sering dibicarakan antara lain:

  • Ketidakadilan Sosial: Publik menilai kebijakan ini memperlebar jurang keadilan antara pejabat dan rakyat biasa.
  • Kurangnya Transparansi: Belum semua instansi menyajikan informasi terbuka mengenai jumlah pajak yang ditanggung pemerintah.
  • Prioritas Belanja Negara: Di tengah kebutuhan pembangunan yang mendesak, publik mempertanyakan urgensi penggunaan APBN untuk menutup pajak pegawai.
  • Isu Kepercayaan Publik: Keterbatasan informasi dan persepsi ketidakadilan dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan fiskal negara.

Kontroversi ini menjadi salah satu alasan penting mengapa keterbukaan informasi, evaluasi kebijakan dan audit berkala perlu dilakukan.

Memahami aturan perpajakan, termasuk skema khusus seperti DTP, tidaklah mudah bagi masyarakat umum. Banyak pihak yang kesulitan membedakan mana penghasilan yang ditanggung pemerintah dan mana yang harus dilaporkan serta dibayar secara mandiri. Dalam konteks ini, peran konsultan pajak menjadi sangat penting.

Konsultan pajak dapat membantu individu maupun institusi untuk menghitung kewajiban pajak dengan tepat, memastikan kepatuhan hukum serta menyusun strategi agar pengelolaan pajak lebih efisien. Bagi para pejabat, ASN, maupun pegawai swasta yang memiliki lebih dari satu sumber penghasilan, jasa konsultan pajak menjadi solusi strategis agar tidak terjadi kesalahan perhitungan atau risiko sanksi.

Bagi Anda yang membutuhkan pendampingan profesional, layanan konsultan pajak PPh 21 Surabaya yang ditawarkan oleh ISBConsultant.com dapat menjadi pilihan tepat. Dengan pengalaman dalam menangani berbagai kasus perpajakan, termasuk PPh 21 dan kewajiban tahunan lainnya, konsultan pajak dapat membantu Anda memahami detail aturan yang seringkali kompleks. Kehadiran konsultan bukan hanya mempermudah pelaporan, tetapi juga memberikan rasa aman dalam setiap proses administrasi pajak.

Rekomendasi Tata Kelola Lebih Baik

Untuk menjawab berbagai kritik yang ada, terdapat sejumlah rekomendasi yang sering dikemukakan para ahli:

  • Keterbukaan Informasi: Rincian komponen gaji dan tunjangan, termasuk DTP, perlu dipublikasikan secara transparan.
  • Audit Kinerja: Kompensasi yang diterima pejabat negara sebaiknya dikaitkan dengan capaian kinerja yang nyata.
  • Evaluasi Kebijakan: Desain kompenssi harus ditinjau secara periodik agar sesuai dengan kondisi fiskal dan prinsip keadilan sosial.
  • Partisipasi Publik: Pelibatan masyarakat dalam mengawasi kebijakan fiskal dapat meningkatkan kepercayaan terhadap pengelolaan APBN/APBD.

Baca juga: Dampak Kenaikan PTKP bagi Buruh, Perusahaan & Ekonomi Nasional