Setiap wajib pajak yang terlibat dalam pemotongan dan pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 maupun PPh Pasal 26 tentu memahami pentingnya akurasi dalam penggunaan kode objek pajak. Kode-kode ini bukan sekadar rangkaian angka, melainkan elemen krusial yang menjadi dasar perhitungan pajak serta pelaporan yang sesuai dengan ketentuan Direktorat Jenderal Pajak. Kesalahan dalam memasukkan kode objek pajak dapat berujung pada ketidaksesuaian pelaporan, sanksi administratif, atau bahkan koreksi pajak yang merugikan.
Untuk itu, memahami daftar kode objek pajak yang tercantum dalam Formulir BPA1, BPA2, BP21, dan BP26 menjadi langkah awal yang penting, khususnya bagi pihak yang menjalankan fungsi kepatuhan perpajakan, seperti perusahaan, bendahara, atau konsultan pajak. Dalam artikel ini, akan dibahas secara lengkap dan terperinci setiap kode yang berlaku sesuai dengan ketentuan terbaru dari PER-11/PJ/2025.
Kode Objek Pajak dalam Formulir BPA1
Formulir BPA1 digunakan untuk mencatat pemotongan PPh 21 atas penghasilan yang diterima oleh pegawai tetap maupun pensiunan. Kode-kode dalam formulir ini berkaitan dengan gaji, tunjangan, bonus, atau bentuk penghasilan lain yang diberikan secara teratur. Penggunaan kode ini memudahkan pelaporan bulanan maupun tahunan, serta penting untuk pelaporan melalui aplikasi e-Bupot atau Coretax.
Sebagai contoh, seorang pegawai tetap dengan penghasilan bulanan sebesar Rp15.000.000 dan memiliki tunjangan tetap Rp2.000.000, harus dikenakan potongan PPh 21 menggunakan kode objek pajak sesuai BPA1. Pemotongan dilakukan berdasarkan tarif progresif dan dilaporkan dalam formulir ini.
Kode Objek Pajak dalam Formulir BPA2
Formulir BPA2 secara khusus digunakan untuk pegawai tetap yang berasal dari kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI, POLRI, maupun pejabat negara. Meski secara teknis mirip dengan BPA1, perbedaan mendasar pada BPA2 adalah klasifikasi khusus atas status kepegawaian dan struktur penghasilannya.
Sebagai ilustrasi, seorang PNS golongan IV dengan tunjangan jabatan dan penghasilan lainnya, yang menerima Rp20.000.000 per bulan, akan dikenakan PPh 21 berdasarkan kode objek pajak dalam BPA2. Penempatan kode objek pajak yang tepat akan menentukan perhitungan pajaknya, termasuk hak atas fasilitas atau tidak.
Kode Objek Pajak dalam Formulir BP21
1. PPh Pasal 21 Tidak Final
BP21 adalah formulir yang mencakup berbagai jenis penghasilan di luar pegawai tetap, terutama penghasilan dari kegiatan atau jasa. Kode objek pajak yang tercantum mencakup:
- 21-100-04: Imbalan distributor pemasaran berjenjang
- 21-100-07: Imbalan tenaga ahli seperti pengacara, akuntan, dokter
- 21-100-14: Imbalan peserta kegiatan seperti seminar atau rapat
- 21-100-20: Imbalan jasa di berbagai bidang
- 21-100-33: Imbalan seniman dan pembuat konten digital
Sebagai contoh, seorang konsultan independen dengan penghasilan bruto Rp10.000.000 dari proyek jangka pendek, dikenakan potongan PPh 21 menggunakan kode 21-100-07. Potongan dihitung sebesar 5% dari bruto setelah pengurangan biaya jabatan atau sesuai ketentuan.
2. PPh Pasal 21 Final
Kode ini digunakan untuk penghasilan yang dikenakan pajak secara final, seperti:
- 21-401-01: Uang pesangon yang dibayarkan sekaligus
- 21-100-27: Penghasilan di daerah tertentu yang mendapatkan fasilitas
- 21-402-02 hingga 21-402-04: Honor yang dibayarkan melalui APBN/APBD
Contoh: Seorang pegawai tidak tetap dibayar secara borongan di daerah prioritas dengan penghasilan bruto Rp2.300.000 per hari. Maka, kode 21-100-29 digunakan, dan PPh 21 dihitung secara final sebesar 5%.
Kode Objek Pajak dalam Formulir BP26
BP26 digunakan secara eksklusif untuk mencatat pemotongan PPh Pasal 26 atas penghasilan yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri (SPLN). Kode yang digunakan:
- 27-100-99: Imbalan jasa, kegiatan, hadiah, pensiun, dan pembayaran lain kepada SPLN
Contoh: Seorang pembicara asing diundang untuk seminar di Indonesia dan menerima honor sebesar Rp50.000.000. Maka, pemotongan PPh 26 sebesar 20% dilakukan atas bruto dan dicatat menggunakan kode 27-100-99.
Pentingnya Ketepatan Penggunaan Kode Objek Pajak
Kesalahan dalam menggunakan kode objek pajak dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara pelaporan dan kenyataan transaksi. Hal ini bisa memicu pemeriksaan pajak dan berdampak pada koreksi fiskal. Dalam konteks ini, perusahaan atau instansi yang belum memiliki pemahaman memadai sangat disarankan menggunakan jasa konsultan.
Memastikan ketepatan kode objek pajak dalam pelaporan pajak adalah bagian penting dari kepatuhan. Dalam hal ini, ISB Consultant sebagai penyedia konsultan pajak Surabaya yang berpengalaman, dapat menjadi mitra andal. Layanan ISBC tidak hanya membantu proses pelaporan tetapi juga memastikan seluruh pemotongan PPh 21/26 sesuai dengan regulasi terkini dari DJP.
Manfaat Memahami Kode Objek Pajak bagi Perusahaan
- Menghindari Kesalahan Administratif: Kode yang salah berpotensi menyebabkan sanksi.
- Kepatuhan Terhadap Regulasi Terbaru: Seperti tercantum dalam PER-11/PJ/2025.
- Kemudahan Audit Internal dan Eksternal: Laporan pajak lebih transparan.
- Efisiensi dalam e-Filing dan e-Bupot: Proses pengisian lebih cepat dan minim koreksi.
- Optimasi Pajak: Dengan kode yang sesuai, perusahaan dapat menikmati insentif fiskal yang tersedia.
Memahami dan menggunakan kode objek pajak yang tepat dalam formulir BPA1, BPA2, BP21, dan BP26 bukan sekadar tugas administratif. Hal ini merupakan bagian vital dalam proses perpajakan yang memengaruhi kepatuhan, efisiensi, dan integritas pelaporan pajak perusahaan. Bagi entitas yang ingin menghindari risiko kesalahan pelaporan dan memastikan setiap transaksi tercatat dengan benar, sangat disarankan untuk menggandeng jasa profesional seperti ISB Consultant, konsultan pajak Surabaya terpercaya.
Baca juga: Peran Nomor Objek Pajak (NOP), Fungsi & Bedanya dengan NPWP