Perbedaan PBB dan BPHTB untuk Transaksi Tanah dan Bangunan

Berbicara mengenai transaksi properti, baik rumah maupun tanah, tidak bisa dilepaskan dari aspek perpajakan yang sering menimbulkan kebingungan. Banyak orang masih mengira bahwa Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah jenis pajak yang sama, padahal keduanya memiliki dasar hukum, objek, dan waktu pembayaran yang berbeda.

Salah memahami hal ini bisa menimbulkan kesalahan perhitungan biaya serta masalah administrasi di kemudian hari.

Bagi masyarakat yang tengah mempertimbangkan untuk membeli rumah, menerima warisan tanah, atau sekadar mengurus kewajiban pajak tahunan, pemahaman mendalam tentang perbedaan PBB dan BPHTB sangatlah penting.

Artikel ini akan membahas secara lengkap dan terperinci mengenai aspek hukum, objek, dasar pengenaan, hingga cara menghitung PBB dan BPHTB agar pembaca dapat mengelola transaksi properti dengan lebih cermat.

Dasar Hukum PBB dan BPHTB

Setiap jenis pajak memiliki payung hukum yang jelas sebagai dasar pelaksanaan dan penetapan tarifnya.

  • PBB (Pajak Bumi dan Bangunan): diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. Pajak ini bersifat kebendaan, artinya dikenakan atas objek berupa tanah dan bangunan, bukan kepada orang per orang. Tarif maksimal yang berlaku adalah 0,5%.
  • BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan): diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tarif umum BPHTB ditetapkan sebesar 5%, namun implementasinya bergantung pada regulasi masing-masing pemerintah daerah.

Objek Pajak PBB dan BPHTB

Perbedaan utama PBB dan BPHTB dapat dilihat dari objek yang dikenakan pajak:

  • Objek PBB: meliputi tanah dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan. PBB bersifat rutin setiap tahun dan menjadi tanggung jawab pemilik atau penghuni properti.
  • Objek BPHTB: bukan benda fisik, melainkan hak kepemilikan atas tanah atau bangunan. BPHTB muncul sekali, hanya pada saat terjadi perolehan hak baru seperti jual beli, hibah, warisan, atau lelang.

Subjek Pajak dan Kewajiban Pembayaran

  • PBB: dibayarkan oleh pemilik atau penghuni tanah/bangunan setiap tahun. Setelah kepemilikan berpindah, kewajiban otomatis beralih ke pemilik baru.
  • BPHTB: dibayarkan oleh pihak yang memperoleh hak (misalnya pembeli, ahli waris, atau penerima hibah). Pembayaran dilakukan sekali saat transaksi atau perolehan hak berlangsung.

Dasar Pengenaan PBB dan BPHTB

Kedua pajak ini juga berbeda dari sisi dasar pengenaan:

  • PBB: menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besaran NJOP ditetapkan oleh pemerintah daerah, sehingga nilai bisa berbeda antarwilayah. Perhitungan PBB melibatkan komponen Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).
  • BPHTB: menggunakan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Rumus yang digunakan lebih sederhana dibandingkan PBB.

Rumus Perhitungan PBB

Formula sederhana yang berlaku:

PBB = 0,5% x NJKP

Baca juga:  PKP & Non PKP Bisa Ajukan Sertifikat Elektronik, Ini Caranya!

Dengan catatan bahwa NJKP merupakan persentase tertentu dari (NJOP – NJOPTKP). Misalnya, seseorang memiliki rumah dengan NJOP Rp1.200.000.000 dan NJOPTKP Rp15.000.000. NJKP ditetapkan 40% karena nilai di atas Rp1 miliar.

NJKP = 40% x (Rp1.200.000.000 – Rp15.000.000) = Rp474.000.000
PBB = 0,5% x Rp474.000.000 = Rp2.370.000

Rumus Perhitungan BPHTB

Formula sederhana yang berlaku:

BPHTB = 5% x (NPOP – NPOPTKP)

Contoh kasus: Seseorang membeli tanah seharga Rp950.000.000 dengan NPOPTKP di daerah tersebut sebesar Rp80.000.000.

BPHTB = 5% x (Rp950.000.000 – Rp80.000.000)
BPHTB = 5% x Rp870.000.000 = Rp43.500.000

Perbedaan PBB dan BPHTB Secara Ringkas

  • Dasar hukum: PBB diatur dalam UU No. 12 Tahun 1994, sedangkan BPHTB diatur dalam UU No. 20 Tahun 2000 dan UU No. 1 Tahun 2022.
  • Objek pajak: PBB atas tanah/bangunan, BPHTB atas perolehan hak.
  • Subjek pajak: PBB ditanggung pemilik, BPHTB ditanggung penerima hak.
  • Waktu pembayaran: PBB dibayar rutin tahunan, BPHTB hanya sekali pada saat perolehan hak.
  • Tarif: PBB maksimal 0,5% dari NJKP, BPHTB 5% dari (NPOP – NPOPTKP).

Perbedaan yang cukup signifikan antara PBB dan BPHTB sering membuat masyarakat keliru. Misalnya, ada yang menganggap bahwa setelah membayar PBB maka tidak perlu lagi membayar BPHTB saat membeli rumah, padahal keduanya berbeda kewajiban. Kesalahpahaman ini dapat menimbulkan kendala saat proses balik nama sertifikat atau pengurusan dokumen legal lainnya.

Di sinilah peran konsultan pajak menjadi sangat penting. Apabila Anda sedang berdomisili di Semarang, bekerja sama dengan ISBC yang dikenal sebagai salah satu konsultan pajak terbaik Indonesia tentu akan sangat membantu.

Dengan dukungan tim akuntan yang berpengalaman, Anda bisa mendapatkan pendampingan profesional untuk menghitung, menyiapkan dokumen, hingga memastikan seluruh kewajiban perpajakan dalam transaksi properti berjalan lancar.

Hubungan PBB, BPHTB dan PPhTB

Selain PBB dan BPHTB, ada satu jenis pajak lain yang kerap muncul dalam transaksi properti, yaitu PPhTB (Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan). Perbedaan mendasarnya adalah:

  • BPHTB: ditanggung oleh pembeli atau penerima hak.
  • PPhTB: ditanggung oleh penjual atau pihak yang melepaskan hak.

BPHTB biasanya disetor ke pemerintah daerah melalui mekanisme Surat Setoran Pajak Daerah, sementara PPhTB disetorkan ke kas negara. Kedua kewajiban ini berbeda namun saling berkaitan dalam kelengkapan administrasi transaksi properti.

Tantangan di Lapangan

Dalam praktiknya, masyarakat sering menghadapi beberapa kendala, seperti:

  • Nilai NJOP yang berbeda dengan harga pasar, sehingga perhitungan pajak terasa memberatkan.
  • Kurangnya pemahaman tentang batasan NPOPTKP yang berbeda antarwilayah.
  • Adanya perbedaan interpretasi aturan antara pemerintah daerah satu dengan lainnya.
  • Persyaratan administratif yang cukup banyak saat mengurus BPHTB dan balik nama sertifikat.

Kondisi ini memperkuat pentingnya bimbingan profesional agar proses administrasi lebih cepat, tepat, dan tidak menimbulkan kesalahan yang berakibat pada denda atau sanksi administrasi.

Baca juga: Tutorial Pendaftaran Objek Pajak PBB P5L via Coretax (CTAS)