Perlakuan Pajak dan Akuntansi Sewa Menurut PSAK 73 di Indonesia

Dalam dunia bisnis yang semakin kompleks, pengelolaan aset dan transaksi sewa memainkan peran penting dalam laporan keuangan dan kewajiban perpajakan suatu perusahaan. Terlebih dengan diberlakukannya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73, pendekatan pencatatan transaksi sewa mengalami perubahan mendasar. Ketidaksesuaian pemahaman terhadap standar akuntansi ini bisa mengakibatkan kesalahan pencatatan, bahkan potensi sanksi perpajakan.

Penting bagi para pelaku usaha dan manajemen keuangan untuk memahami secara utuh perlakuan pajak atas transaksi sewa, baik dari sisi PSAK 73 maupun ketentuan perpajakan di Indonesia. Pemahaman yang tepat akan mendukung kepatuhan pajak, mengoptimalkan manfaat fiskal, dan mencegah konflik dengan otoritas pajak. Berikut ulasan lengkapnya.

Konsep Dasar PSAK 73 dalam Transaksi Sewa

PSAK 73 mulai berlaku efektif sejak 1 Januari 2020 dan mengatur perlakuan akuntansi atas sewa, menggantikan PSAK 30. PSAK 73 menekankan pengakuan aset hak-guna (right-of-use asset) dan liabilitas sewa bagi penyewa. Suatu kontrak disebut sebagai sewa apabila memberikan hak untuk mengendalikan penggunaan suatu aset identifikasian selama jangka waktu tertentu dengan imbalan.

Pada awal masa sewa, penyewa wajib mengakui:

  1. Aset hak-guna sebesar nilai liabilitas sewa ditambah biaya langsung awal.
  2. Liabilitas sewa yang diukur sebesar nilai kini dari pembayaran sewa selama masa sewa.

Selanjutnya, aset hak-guna akan disusutkan selama masa sewa, sedangkan liabilitas sewa dikurangkan seiring pembayaran dan pengakuan beban bunga.

Perlakuan Pajak atas Sewa di Indonesia

Meskipun PSAK 73 menekankan aspek substansi ekonomi, ketentuan perpajakan di Indonesia lebih menekankan aspek legal formal dan kas keluar. Dalam praktiknya, terdapat beberapa skema pajak tergantung pada objek sewa dan jenis kontraknya.

1. Sewa Tanah dan/atau Bangunan

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2017, penghasilan dari sewa tanah dan/atau bangunan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 10% dari jumlah bruto yang diterima atau telah jatuh tempo pembayarannya. Komponen bruto ini mencakup:

  • Biaya sewa pokok
  • Service charge
  • Biaya pemeliharaan
  • Biaya keamanan dan kebersihan

Contoh Perhitungan: PT S menyewa kantor dari PT T senilai Rp12 juta per bulan, ditambah biaya service charge sebesar Rp1 juta. Total pembayaran adalah Rp13 juta per bulan.

Maka, PPh Final 10% yang dipotong oleh penyewa adalah: 10% x Rp13.000.000 = Rp1.300.000 per bulan

2. Sewa Harta Bergerak (PPh Pasal 23)

Untuk objek sewa selain tanah dan bangunan (misalnya kendaraan, mesin, alat berat), dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto pembayaran. Pajak ini dipotong oleh penyewa dan disetorkan ke kas negara.

Baca juga:  Pajak Sewa Gedung untuk Kegiatan

Contoh Perhitungan: PT K menyewa alat berat dari PT J seharga Rp50 juta per bulan. Maka, PPh Pasal 23 yang dipotong: 2% x Rp50.000.000 = Rp1.000.000 per bulan

3. Sewa Kapal dan Pesawat (PPh Pasal 15)

Objek sewa kapal dan pesawat tunduk pada tarif khusus:

  • Pelayaran Dalam Negeri: 1,2% (bersifat final)
  • Pelayaran Luar Negeri: 2,64% (final)
  • Penerbangan Domestik via charter: 1,8% (tidak final)
  • Penerbangan Internasional: 2,64% (final)

4. Sewa Guna Usaha (Leasing)

Dalam leasing, perlakuan pajaknya tergantung pada jenisnya:

  • Financial Lease (dengan hak opsi):
    • Tidak terutang PPN.
    • Tidak dipotong PPh Pasal 23.
    • Penghasilan dikenai pajak hanya sebagian.
  • Operating Lease (tanpa hak opsi):
    • Terutang PPN atas seluruh pembayaran.
    • Objek pemotongan PPh Pasal 23.
    • Biaya sewa dapat dikurangkan (deductible) bagi penyewa.

Perbedaan Pendekatan PSAK 73 dan Perpajakan

Meskipun transaksi yang dicatat serupa, pendekatan PSAK dan perpajakan memiliki perbedaan signifikan:

AspekPSAK 73Perpajakan
FokusSubstansi ekonomiRealisasi kas
PengakuanAset hak-guna & liabilitas sewaJumlah bruto transaksi
BiayaDepresiasi & bungaBiaya sewa (deductible)
PajakTidak mempertimbangkan pajak secara langsungMengacu pada tarif PPh dan PPN

Sebagai ilustrasi, service charge menurut PSAK dapat dicatat terpisah sebagai biaya operasional. Namun, dalam perpajakan, tetap dihitung dalam DPP PPh Final atas sewa tanah dan bangunan.

Studi Kasus Ilustratif

PT M menyewa gudang dari PT N selama 3 tahun dengan total pembayaran sewa Rp360 juta dan biaya kebersihan Rp1 juta per bulan. Pembayaran dilakukan per bulan secara reguler.

Dari sisi PSAK 73:

  • PT M mengakui aset hak-guna dan liabilitas sebesar nilai kini dari total pembayaran selama masa sewa.
  • Aset disusutkan selama 3 tahun.
  • Beban bunga dihitung setiap periode berdasarkan saldo liabilitas.

Dari sisi pajak:

  • PPh Final sebesar 10% dari (Rp10 juta + Rp1 juta) = Rp1,100,000 per bulan.
  • Service charge termasuk DPP.

Mengingat kompleksitas pengaturan ini, sangat disarankan bagi pelaku usaha untuk berkonsultasi dengan pihak profesional agar tidak terjadi kesalahan pelaporan. Di sinilah peran penting konsultan pajak Semarang seperti ISB Consultant yang telah berpengalaman dalam membantu klien menghadapi tantangan harmonisasi antara akuntansi dan perpajakan. Dengan pendampingan yang tepat, perusahaan dapat mengoptimalkan perencanaan pajak sekaligus memenuhi ketentuan PSAK.

Transaksi sewa merupakan aktivitas yang lazim dalam dunia usaha, namun memerlukan perhatian lebih dalam pencatatan akuntansi dan pelaporan perpajakannya. PSAK 73 memberikan kerangka kerja akuntansi yang lebih merefleksikan kewajiban jangka panjang, sementara aturan perpajakan menekankan pada pendekatan kas dan formalitas hukum. Pemahaman yang komprehensif terhadap kedua pendekatan ini penting untuk memastikan kepatuhan yang optimal dan menghindari konsekuensi hukum. Mengandalkan dukungan dari konsultan pajak profesional akan sangat membantu, terutama bagi perusahaan yang ingin tetap kompetitif dan taat regulasi.