Perkembangan regulasi perpajakan di Indonesia kembali mengalami penyesuaian strategis. Mulai 1 Agustus 2025, pemerintah resmi menghapus kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi aset kripto. Keputusan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 53 Tahun 2025 yang menjadi revisi atas PMK Nomor 11 Tahun 2025.
Perubahan ini tidak hanya mencerminkan respons pemerintah terhadap dinamika ekonomi digital, tetapi juga menjadi sinyal kuat bahwa aset kripto kini diakui sebagai bagian penting dari ekosistem keuangan nasional.
Kebijakan ini tentu membawa angin segar bagi pelaku pasar aset digital, investor individu, hingga perusahaan yang berfokus pada teknologi blockchain.
Namun, penting bagi para wajib pajak untuk memahami konteks dan rincian dari kebijakan ini, mengingat terdapat aspek-aspek lain dalam PMK 53/2025 yang tetap mempertahankan ketentuan PPN, terutama pada sektor jasa keuangan dan konstruksi.
Apa itu PMK 53/2025?
PMK 53 Tahun 2025 adalah regulasi terbaru yang diterbitkan Kementerian Keuangan sebagai bentuk revisi dari PMK 11 Tahun 2025. Dokumen ini mengatur ulang dasar pengenaan pajak, khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas beberapa aktivitas ekonomi.
Salah satu poin krusial yang diatur adalah penghapusan PPN atas transaksi aset kripto, menjadikan aset digital tersebut tidak lagi dikenakan PPN terhitung mulai 1 Agustus 2025.
Revisi ini merupakan upaya pemerintah untuk menyelaraskan kebijakan fiskal dengan perkembangan industri digital yang pesat. Selama ini, transaksi aset kripto masih dikenai PPN berdasarkan nilai lain yang ditentukan secara efektif, tergantung pada jenis transaksi dan status penyedia jasa.
Dengan dihapusnya pasal-pasal terkait dalam PMK 11/2025, pemerintah memberikan kepastian hukum sekaligus mendorong iklim investasi yang lebih kompetitif.
Penghapusan PPN atas Transaksi Kripto
Sebelumnya, transaksi kripto diatur dalam Pasal 343 dan 354 PMK 11/2025. Pasal 343 menetapkan pemungutan PPN atas transaksi kripto oleh pedagang fisik aset kripto (PFAK) maupun non-PFAK, dengan tarif efektif masing-masing 1% dan 2% dari nilai transaksi.
Nilai tersebut dihitung dari mekanisme fiat, swap, hingga transfer aset digital. Sementara itu, Pasal 354 menetapkan PPN atas penghasilan yang diterima oleh penambang kripto, seperti block reward, dengan tarif efektif 10% x 11/12 dari tarif PPN.
Dengan berlakunya PMK 53/2025, kedua pasal tersebut resmi dihapus. Artinya, baik transaksi pembelian, penjualan, maupun penambangan aset kripto tidak lagi dikenakan PPN.
Langkah ini menjadikan perlakuan pajak terhadap aset kripto semakin mendekati perlakuan terhadap instrumen pasar modal seperti saham dan obligasi.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa penghapusan PPN tidak berarti transaksi kripto bebas dari kewajiban pajak sama sekali. PPh Pasal 22 Final masih tetap berlaku sesuai dengan PMK 50/2025.
Oleh karena itu, pelaku usaha dan investor tetap harus melakukan pelaporan dan pembayaran pajak penghasilan sesuai ketentuan yang berlaku.
PPN Masih Berlaku untuk Agen dan Pialang Asuransi
Meskipun ada penghapusan PPN untuk aset kripto, PMK 53/2025 tidak mengubah ketentuan nilai lain PPN bagi agen asuransi serta perusahaan pialang asuransi dan reasuransi.
Dalam Pasal 313 PMK 53/2025, perhitungan besaran tertentu tetap sama seperti dalam regulasi sebelumnya, yakni PMK 11/2025.
Perincian Tarif PPN:
- Untuk agen asuransi:
- Besaran tertentu ditetapkan sebesar 10% x 11/12 dari tarif PPN, dikalikan dengan komisi atau imbalan yang diterima.
- Untuk pialang asuransi dan reasuransi:
- Besaran tertentu adalah 20% x 11/12 dari tarif PPN, dikalikan dengan komisi atau imbalan yang diterima.
Tarif PPN yang digunakan merujuk pada Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPN yang berlaku saat ini, yaitu 12%. Dengan demikian, agen dan pialang masih harus memungut dan menyetor PPN atas jasa mereka sesuai mekanisme perhitungan tersebut.
Sebagai contoh, jika seorang agen asuransi menerima komisi sebesar Rp100 juta dalam satu masa pajak, maka PPN yang harus dihitung adalah:
10% x 11/12 x 12% x Rp100.000.000 = Rp1.100.000
Perhitungan ini penting diketahui oleh para profesional di industri asuransi agar tidak terjadi kesalahan dalam pelaporan dan pemenuhan kewajiban pajak.
Ketentuan PPN untuk Kegiatan Membangun Sendiri
Selain sektor asuransi, ketentuan PPN untuk kegiatan membangun sendiri juga tetap diberlakukan tanpa perubahan dalam PMK 53/2025. Hal ini diatur dalam Pasal 324, yang menetapkan bahwa pembangunan gedung atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi maupun badan tetap dikenakan PPN.
Besaran PPN ditetapkan sebesar 20% x 11/12 dari tarif PPN, dikalikan dengan jumlah biaya membangun, tidak termasuk harga tanah. Kegiatan ini mencakup pembangunan gedung oleh pihak non-kontraktor yang digunakan sendiri, bukan untuk diperjualbelikan.
Contoh Penghitungan:
Jika seseorang membangun rumah pribadi dengan biaya konstruksi sebesar Rp800 juta (di luar harga tanah), maka PPN yang dikenakan adalah:
20% x 11/12 x 12% x Rp800.000.000 = Rp17.600.000
Pemilik bangunan tetap wajib melaporkan dan menyetorkan PPN atas kegiatan ini, meskipun tidak melalui penyedia jasa konstruksi.
Menghadapi perubahan kebijakan seperti PMK 53/2025, wajib pajak disarankan untuk tidak mengambil risiko dengan hanya mengandalkan interpretasi pribadi.
Banyak kasus di lapangan yang menunjukkan bahwa kesalahan pemahaman regulasi justru dapat menimbulkan denda dan sanksi administratif yang memberatkan.
Di sinilah pentingnya menggunakan layanan jasa pajak yang terpercaya. Bagi Anda yang berdomisili di Jogja dan sekitarnya, ISB Consultant dapat menjadi mitra strategis dalam mengelola kepatuhan pajak Anda secara profesional.
Dengan dukungan konsultan yang berpengalaman dan memahami dinamika regulasi terbaru, Anda akan memperoleh solusi pajak yang efisien, tepat, dan sesuai peraturan yang berlaku.
Kesimpulan
PMK 53/2025 menjadi bukti bahwa pemerintah terus melakukan pembaruan kebijakan fiskal untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan ekonomi digital.
Penghapusan PPN atas transaksi aset kripto menunjukkan komitmen dalam mendukung inovasi finansial, sekaligus mendekatkan regulasi domestik dengan standar internasional.
Namun demikian, wajib pajak tetap harus cermat dalam memahami batasan dan pengecualian dari kebijakan ini.
Sebab, masih banyak sektor lain yang tetap dikenakan PPN berdasarkan ketentuan nilai lain. Maka dari itu, kolaborasi dengan konsultan pajak yang berpengalaman menjadi langkah bijak agar tidak terjadi kesalahan dalam pelaporan dan kepatuhan.
Baca juga: 15 Jasa Tidak Kena Pajak PPN, Kok Bisa?