Ketentuan Transaksi PPN dengan Non PKP, Apa Saja?

Dalam dunia perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi salah satu komponen yang wajib dipahami oleh para pelaku usaha, terutama mereka yang sudah berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP). Meski demikian, tak jarang seorang PKP harus bertransaksi dengan pengusaha atau pihak yang belum dikukuhkan sebagai PKP, yang biasa disebut sebagai Non PKP. Dalam kondisi tersebut, terdapat beberapa aturan dan ketentuan yang harus diperhatikan demi memastikan kewajiban perpajakan tetap terpenuhi dengan benar.

Salah satu tantangan utama yang dihadapi PKP saat bertransaksi dengan Non PKP adalah dalam hal pengenaan dan pencatatan PPN. Transaksi ini memiliki konsekuensi berbeda dibandingkan jika transaksi dilakukan antara dua PKP. Oleh karena itu, penting bagi para PKP untuk memahami bagaimana transaksi ini berjalan, baik dari sisi kewajiban menerbitkan faktur pajak, pemungutan PPN, hingga implikasi pajaknya terhadap perusahaan.

Pengenalan tentang Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan Non PKP

Sebelum memahami lebih jauh mengenai ketentuan transaksi PPN dengan Non PKP, penting untuk mengetahui definisi dari PKP dan Non PKP itu sendiri. PKP adalah pengusaha atau badan usaha yang telah dikukuhkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Sebaliknya, Non PKP adalah pengusaha yang belum dikukuhkan atau belum memenuhi syarat untuk menjadi PKP, sehingga tidak diwajibkan memungut PPN atas penjualannya.

Baca juga: Bolehkah Non PKP Terbitkan Faktur Pajak?

Kewajiban PKP dalam Transaksi dengan Non PKP

Dalam transaksi antara PKP dengan Non PKP, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh PKP, terutama dalam hal penerbitan faktur pajak. Meski pembeli atau pihak lawan transaksi adalah Non PKP, PKP tetap berkewajiban untuk menerbitkan faktur pajak dengan mengisi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli sebagai “00.000.000.0-000.000”. Ini merupakan ketentuan yang diatur oleh perundang-undangan guna memastikan adanya dokumentasi transaksi yang benar sesuai aturan perpajakan.

Namun, perlu diingat bahwa faktur pajak yang diterbitkan dalam transaksi ini tidak bisa dikreditkan oleh pembeli Non PKP. Hal ini terjadi karena Non PKP tidak memiliki kewenangan untuk mengkreditkan PPN, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984. Meskipun demikian, PKP tetap diwajibkan untuk menyertakan identitas Non PKP dalam faktur pajak yang dibuat, dan ketidaksesuaian dalam penerbitan faktur ini dapat berakibat pada sanksi administrasi berupa Surat Tagihan Pajak (STP) berdasarkan Pasal 14 ayat 4 UU KUP.

Implikasi PPN dalam Pembelian BKP dari Non PKP

Ketika PKP melakukan transaksi pembelian BKP dari Non PKP, terdapat perbedaan perlakuan dibandingkan jika PKP membeli dari sesama PKP. Non PKP, karena tidak diwajibkan untuk memungut PPN, tidak akan mengeluarkan faktur pajak pada transaksi tersebut. Akibatnya, PKP tidak bisa mengkreditkan PPN atas pembelian tersebut, meskipun unsur PPN mungkin telah melebur dalam harga barang yang dijual oleh Non PKP.

Baca juga:  PKP & Non PKP Bisa Ajukan Sertifikat Elektronik, Ini Caranya!

Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan PKP membeli barang dari Non PKP, PPN yang dibayar atas pembelian tersebut sudah termasuk dalam harga pokok barang, meskipun tidak terpisah dalam bentuk faktur pajak. Dalam situasi ini, PKP tidak dapat memanfaatkan pajak masukan yang biasa digunakan untuk mengurangi pajak keluaran, sehingga hal ini menjadi kurang menguntungkan bagi perusahaan PKP.

Contoh kasus: PT. Artha, yang berstatus PKP, membeli barang dari Non PKP sebesar Rp1.000.000. Setelah itu, PT. Artha menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan 20% menjadi Rp1.320.000. Harga tersebut terdiri dari harga pembelian Rp1.000.000, keuntungan Rp200.000, dan PPN Rp120.000 (karena PT. Artha merupakan PKP). Dalam hal ini, PT. Artha harus membayar PPN lebih besar karena pembeliannya dilakukan dari Non PKP, dan PPN atas pembelian tersebut tidak dapat dikreditkan.

Strategi Mengoptimalkan Transaksi dengan Non PKP

Melakukan transaksi dengan Non PKP bisa menjadi kurang menguntungkan bagi PKP, terutama dalam hal pemungutan dan pengkreditan PPN. Oleh karena itu, banyak perusahaan PKP lebih memilih untuk bertransaksi dengan sesama PKP, di mana PPN dapat dikreditkan. Namun, dalam situasi di mana transaksi dengan Non PKP tidak bisa dihindari, penting untuk tetap memperhatikan aspek legal dan dokumentasi perpajakan guna menghindari sanksi.

Dalam beberapa kasus, menggunakan jasa konsultan pajak dapat menjadi solusi yang bijak. Konsultan pajak dapat membantu perusahaan memastikan bahwa setiap transaksi, baik dengan PKP maupun Non PKP, sesuai dengan aturan yang berlaku, sehingga perusahaan tidak menghadapi risiko audit atau penalti dari otoritas pajak.

Bila perusahaan Anda ada di Surabaya dan sering melakukan transaksi yang melibatkan Non PKP sehingga Anda merasa kewalahan dengan berbagai ketentuan perpajakan yang berlaku, maka menggunakan jasa konsultan pajak di Surabaya bisa menjadi pilihan tepat.

ISB Consultant selaku konsulan pajak profesional akan membantu memastikan transaksi PPN Anda sesuai dengan aturan yang berlaku dan meminimalkan risiko terhadap pajak yang tidak bisa dikreditkan. Dengan dukungan konsultan pajak yang berpengalaman, perusahaan Anda dapat mengoptimalkan strategi perpajakan untuk mendapatkan hasil yang lebih efisien.

Transaksi PPN dengan Non PKP memang memiliki tantangan tersendiri bagi perusahaan yang sudah berstatus PKP. Dari kewajiban menerbitkan faktur pajak, pemahaman atas pajak yang tidak bisa dikreditkan, hingga pengelolaan dokumen perpajakan, semua ini membutuhkan perhatian ekstra. Transaksi dengan Non PKP sering kali membuat PKP harus menanggung beban pajak yang lebih besar karena pajak masukan yang tidak bisa diklaim kembali.

Untuk meminimalkan kerugian dan menghindari kesalahan dalam pelaporan pajak, perusahaan sebaiknya mempertimbangkan penggunaan jasa konsultan pajak. Konsultan pajak dapat membantu menganalisis setiap transaksi, memberikan panduan atas langkah-langkah terbaik, dan memastikan bahwa semua aspek perpajakan telah dipenuhi sesuai peraturan. Dengan demikian, perusahaan dapat fokus pada kegiatan bisnis utama mereka tanpa terganggu oleh kerumitan aturan perpajakan.