Perbedaan PKP & non PKP dari Berbagai Sisi

Akuntan Konsultan Pajak Semarang – Perpajakan adalah salah satu aspek yang tak terhindarkan dalam dunia bisnis. Setiap perusahaan, baik besar maupun kecil, serta individu yang memiliki aktivitas usaha, wajib memahami aturan dan kewajiban perpajakan yang berlaku. Di Indonesia, salah satu konsep penting dalam perpajakan adalah PKP atau Pengusaha Kena Pajak.

Namun, tidak semua pengusaha masuk dalam kategori PKP; ada juga pengusaha yang dikenal sebagai Non-PKP (Pengusaha Tidak Kena Pajak). Artikel ini akan membahas perbedaan mendasar antara PKP dan Non-PKP, serta menyoroti peraturan perpajakan yang berlaku dalam konteks ini.

Pengertian PKP (Pengusaha Kena Pajak)

Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah istilah yang sering kita dengar dalam perbincangan perpajakan di Indonesia. PKP merujuk kepada pengusaha atau badan usaha yang memiliki kewajiban untuk mengenakan, mengumpulkan, dan menyetorkan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) ke pemerintah.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah kewajiban pajak yang diterapkan pada setiap transaksi pembelian dan penjualan barang serta jasa. PKP ini merupakan agen pajak yang bertindak atas nama pemerintah untuk mengumpulkan pajak dari pihak lain.

Dalam mengidentifikasi PKP, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan perpajakan yang mengatur ambang batas omzet tahunan yang menjadikan sebuah bisnis wajib mendaftar sebagai PKP.

Saat artikel ini ditulis, ambang batas omzet PKP adalah sekitar 4,8 miliar rupiah per tahun. Namun, ambang batas ini dapat berubah sesuai dengan peraturan pajak yang dikeluarkan oleh pemerintah. PKP wajib melaporkan dan membayar PPN secara rutin, serta mematuhi aturan perpajakan lainnya.

Pengertian Non-PKP (Pengusaha Tidak Kena Pajak)

Pengusaha Tidak Kena Pajak (Non-PKP) adalah sebutan untuk pengusaha atau badan usaha yang tidak mencapai ambang batas omzet tahunan yang diperlukan untuk menjadi PKP. Dengan kata lain, Non-PKP tidak diwajibkan untuk mengenakan dan mengumpulkan PPN dari pelanggan mereka, dan mereka tidak memiliki kewajiban pajak serupa seperti yang dimiliki oleh PKP.

Namun, ini tidak berarti bahwa Non-PKP sepenuhnya terbebas dari kewajiban perpajakan. Mereka masih harus mematuhi peraturan perpajakan lainnya seperti PPh (Pajak Penghasilan), ketentuan pemotongan pajak, dan pelaporan pajak tahunan.

Perbedaan PKP dan Non-PKP Paling Utama

Setelah mengetahui pengertian PKP dan non PKP, kini saatnya pahami perbedaan antara pkp dan non PKP dari rangkuman berikut:

Kewajiban PPN

  • PKP: Memiliki kewajiban mengenakan, mengumpulkan, dan menyetorkan PPN kepada pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan.

  • Non-PKP: Tidak diwajibkan mengenakan atau mengumpulkan PPN atas transaksi jual beli barang atau jasa yang mereka lakukan.

Pelaporan PPN

  • PKP: Harus melaporkan PPN yang mereka kumpulkan secara berkala dalam SPT Masa (Surat Pemberitahuan Masa) dan menyetorkan pajak tersebut ke pemerintah sesuai jadwal yang ditentukan.

  • Non-PKP: Tidak perlu melaporkan atau menyetor PPN karena mereka tidak memiliki kewajiban tersebut.

Kepatuhan Pajak

  • PKP: Harus mematuhi peraturan perpajakan yang berlaku, termasuk pembukuan yang baik dan tepat, serta pelaporan pajak yang akurat.
Baca juga:  Bolehkah Non PKP Terbitkan Faktur Pajak?

  • Non-PKP: Meskipun mereka tidak wajib mengenakan PPN, mereka masih harus mematuhi kewajiban perpajakan lainnya, seperti PPh dan ketentuan pemotongan pajak.

Faktur Pajak

  • PKP: Wajib mengeluarkan faktur pajak kepada pelanggan mereka untuk setiap transaksi yang dikenakan PPN. Faktur ini diperlukan sebagai bukti pajak yang harus dipertanggungjawabkan oleh PKP.

  • Non-PKP: Tidak diwajibkan mengeluarkan faktur pajak.
pengertian pkp dan non pkp
almubadaragroup.com

Peraturan Pajak PKP dan Non-PKP

Peraturan perpajakan yang mengatur PKP dan Non-PKP, termasuk ambang batas omzet yang digunakan untuk menentukan status PKP, diatur oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Selain undang-undang tersebut, peraturan pelaksana lebih lanjut mengenai perpajakan di Indonesia juga diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 50/PMK.03/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pemberian, Pembatalan, dan Penggunaan Faktur Pajak. Peraturan perpajakan ini secara rinci mengatur persyaratan, pelaporan, serta penggunaan faktur pajak.

Memahami Perbedaan PKP dan Non-PKP

Memahami perbedaan antara PKP dan Non-PKP adalah langkah penting dalam pengelolaan pajak yang efektif bagi perusahaan dan individu yang berkecimpung dalam dunia usaha. Perbedaan ini berdampak pada cara pajak dikelola, pelaporan pajak, serta administrasi perpajakan secara keseluruhan. Manfaat dari pemahaman ini meliputi:

  • Kepatuhan Pajak yang Lebih Baik: Dengan memahami status Anda sebagai PKP atau Non-PKP, Anda dapat memastikan bahwa Anda mematuhi kewajiban perpajakan yang berlaku, sehingga menghindari sanksi dan denda pajak.

  • Pengelolaan PPN yang Efisien: Bagi PKP, pemahaman yang baik tentang PPN memungkinkan pengelolaan yang efisien, termasuk pemotongan dan pelaporan yang akurat.

  • Pengendalian Biaya: Memahami status PKP atau Non-PKP dapat membantu Anda merencanakan dan mengendalikan biaya perpajakan, terutama dalam hal PPN.

  • Pertumbuhan Usaha yang Lebih Baik: Memahami peraturan perpajakan yang berlaku membantu pengusaha membuat keputusan yang lebih baik terkait perluasan bisnis dan pertumbuhan.


Perbedaan antara PKP dan Non-PKP adalah hal yang penting dalam dunia perpajakan di Indonesia. Dalam mengelola perpajakan, baik perusahaan maupun individu harus memahami status perpajakan mereka dan mematuhi aturan yang berlaku.

Pemerintah Indonesia memiliki undang-undang dan peraturan yang jelas mengenai hal ini, dan pemahaman yang baik akan membantu menghindari potensi masalah perpajakan di masa depan. Oleh karena itu, selalu bijak untuk berkonsultasi dengan profesional perpajakan atau otoritas pajak yang berwenang dalam kasus-kasus yang kompleks untuk memastikan kepatuhan yang benar terhadap peraturan perpajakan yang berlaku