Penerapan Substance Over Form dalam Pencegahan Penghindaran Pajak

Penghindaran pajak merupakan masalah global yang merugikan negara-negara dalam hal penerimaan pajak yang seharusnya diterima. Dalam upaya memerangi praktik penghindaran pajak, prinsip “substansi lebih penting daripada bentuk” atau “substansi melebihi bentuk” menjadi kunci dalam pencegahan penghindaran pajak. Artikel ini akan mengulas lebih dalam tentang prinsip ini dan implementasinya di Indonesia.

Prinsip Substance Over Form

Prinsip “substansi lebih penting daripada bentuk” merupakan landasan dalam penilaian transaksi keuangan. Artinya, penilaian transaksi atau kejadian harus didasarkan pada substansi ekonominya, bukan sekadar bentuk hukumnya. Misalnya, meskipun suatu transaksi memiliki dokumen formal yang menyatakan bahwa itu adalah penjualan, namun jika substansi transaksi tersebut sebenarnya adalah sewa, maka pajak harus dihitung berdasarkan substansi sewa, bukan bentuk penjualan.

Prinsip ini diperkenalkan untuk mencegah praktik penghindaran pajak di mana pihak-pihak tertentu mencoba untuk memanfaatkan celah hukum atau kesenjangan peraturan untuk mengurangi kewajiban pajak mereka. Dengan menekankan substansi ekonomi, prinsip ini membantu memastikan bahwa semua transaksi diproses sesuai dengan tujuan aslinya, tanpa menyalahgunakan hukum.

Baca juga: Kesalahan Umum Pengisian Pajak Penghasilan dan Cara Menghindarinya

Implementasi di Indonesia

Indonesia telah mengambil langkah-langkah konkret untuk menerapkan prinsip “substansi lebih penting daripada bentuk” dalam pencegahan penghindaran pajak. Salah satu langkah yang diambil adalah penerapan aturan khusus anti-penghindaran (SAAR) yang fokus pada prinsip-prinsip bisnis yang adil dan teratur. Ini termasuk prinsip arm’s length principle, thin capitalization, controlled foreign companies, dan inkonsistensi antar negara.

Selain itu, Indonesia juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2022 yang menguatkan implementasi prinsip ini. Peraturan ini memberikan dasar hukum yang jelas bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menetapkan kembali pajak terutang berdasarkan pengakuan substansi ekonomi di luar bentuk formalnya.

Dokumentasi dan Pembuktian Substance Over Form

Dalam praktiknya, penerapan prinsip “substansi lebih penting daripada bentuk” membutuhkan dokumentasi dan pembuktian yang cermat. Wajib pajak harus dapat memberikan bukti substansi ekonomi dari transaksi yang mereka lakukan, bukan hanya mengandalkan dokumen formal. Hal ini membutuhkan pemeliharaan dokumen yang komprehensif, termasuk file lokal, file induk, dan laporan khusus negara.

Baca juga:  PKP & Non PKP Bisa Ajukan Sertifikat Elektronik, Ini Caranya!

File lokal adalah dokumen utama yang digunakan untuk menunjukkan kewajaran harga transaksi antara pihak terkait. Dokumen ini juga membuktikan substansi keuangan dari transaksi yang terlibat, serta memastikan bahwa tidak ada penggelapan pajak yang terjadi. Selain itu, pihak terkait juga harus menyimpan bukti-bukti transaksi terkait yang sah, seperti faktur pajak, kontrak tertulis, dan dokumen lain yang mendukung substansi transaksi.

Penegakan dan Pengawasan

Penerapan prinsip “substansi lebih penting daripada bentuk” juga memerlukan penegakan dan pengawasan yang ketat. DJP memiliki kewenangan untuk menetapkan kembali pajak terutang jika mereka menemukan bahwa transaksi tersebut tidak sesuai dengan substansi ekonominya. Namun demikian, DJP harus mematuhi batasan kekuasaan dan prosedur eksekutif, serta memperhatikan perlindungan hak wajib pajak.

Baca juga: Menghindari Kesalahan Umum dalam Pelaporan Pajak Perusahaan

Kesimpulan

Dalam upaya memerangi penghindaran pajak, prinsip “substansi lebih penting daripada bentuk” menjadi pedoman yang sangat penting. Dengan menekankan substansi ekonomi dari transaksi, prinsip ini membantu memastikan bahwa semua pihak mematuhi aturan perpajakan yang berlaku. Indonesia telah mengambil langkah-langkah yang signifikan dalam menerapkan prinsip ini melalui aturan SAAR dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2022. Namun, penerapan prinsip ini juga memerlukan kerjasama yang erat antara DJP dan wajib pajak untuk memastikan kepatuhan dan keadilan dalam sistem perpajakan.