Peraturan perpajakan di Indonesia terus diperbarui agar mampu mengakomodasi dinamika ekonomi dan aktivitas bisnis yang semakin kompleks. Salah satu regulasi terbaru yang menjadi sorotan adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2025.
Aturan ini memperjelas apa saja yang dimaksud sebagai data konkret pajak, yang kini dapat digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai dasar dalam melakukan pengawasan atau bahkan pemeriksaan terhadap wajib pajak.
Bagi pelaku usaha maupun individu, memahami isi dari peraturan ini bukan sekadar wacana hukum, melainkan sebuah kebutuhan. Mengabaikan detail mengenai data konkret dapat berujung pada konsekuensi serius, termasuk pengawasan intensif atau pemeriksaan pajak.
Artikel ini akan membahas secara mendalam mengenai jenis data konkret dalam PER-18/PJ/2025, contoh aplikasinya dalam praktik, hingga implikasi yang harus diantisipasi oleh wajib pajak.
Apa yang Dimaksud dengan Data Konkret Pajak?
Dalam konteks perpajakan, data konkret didefinisikan sebagai informasi yang dimiliki atau diperoleh DJP dan dapat langsung digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan seseorang atau badan usaha. Artinya, data tersebut memiliki validitas yang cukup kuat sehingga bisa menjadi landasan hukum bagi DJP untuk menindaklanjuti dugaan ketidakpatuhan.
Dasar hukum mengenai data konkret ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) PER-18/PJ/2025. Beberapa bentuk data konkret yang disebutkan di antaranya adalah:
- Faktur pajak yang sudah tervalidasi sistem DJP tetapi tidak tercantum dalam SPT Masa PPN.
- Bukti pemotongan atau pemungutan PPh yang tidak atau belum dilaporkan penerbitnya.
- Bukti transaksi atau dokumen perpajakan lain yang relevan untuk menghitung kewajiban pajak.
Dengan adanya ketentuan ini, ruang lingkup pengawasan DJP menjadi lebih terarah dan transparan.
Delapan Jenis Data Konkret yang Diatur dalam PER-18/PJ/2025
Agar tidak menimbulkan multitafsir, DJP secara rinci menetapkan delapan bentuk data konkret yang dapat menjadi dasar pemeriksaan pajak. Berikut penjelasan lengkapnya:
1. Kelebihan Kompensasi PPN yang Tidak Didukung
Kompensasi lebih bayar PPN seharusnya didukung dengan catatan dari SPT Masa periode sebelumnya. Jika tidak ada dukungan dokumen, maka klaim kompensasi tersebut dianggap tidak sah. Kondisi ini bisa menunjukkan adanya manipulasi data untuk memperkecil kewajiban pajak. Oleh karena itu, DJP menjadikannya sebagai data konkret untuk menilai akurasi pelaporan.
2. Penggunaan Pedoman Kredit Pajak Masukan oleh Pihak yang Tidak Berhak
Pedoman pengkreditan pajak masukan hanya berlaku untuk wajib pajak tertentu yang memenuhi kriteria yang ditetapkan. Jika pedoman ini digunakan oleh pihak yang tidak berhak, artinya ada potensi pengurangan pajak keluaran secara tidak sah. Hal ini bisa menyebabkan nilai pajak yang dilaporkan lebih kecil dari kewajiban riil.
3. PPN Disetor di Muka tetapi Tidak Sesuai
Dalam praktik bisnis, PPN kerap dibayarkan di muka. Namun, apabila jumlah setoran tidak sesuai dengan ketentuan atau kurang dibayar, maka kondisi ini masuk dalam kategori data konkret. Kesalahan ini bisa terjadi karena kelalaian atau kesengajaan, dan DJP akan menggunakan data tersebut sebagai dasar pemeriksaan.
4. Pemanfaatan Insentif Pajak Tidak Sesuai
Insentif pajak diberikan dengan syarat dan ketentuan khusus, seperti sektor usaha tertentu atau kondisi perekonomian tertentu. Jika wajib pajak mengklaim insentif tanpa memenuhi syarat, maka penggunaan insentif tersebut dianggap penyalahgunaan fasilitas. DJP akan langsung menindaklanjuti karena hal ini jelas merugikan negara.
5. Pengkreditan Pajak Masukan Tidak Sesuai
Pengkreditan pajak masukan harus didasarkan pada transaksi yang sah, faktur pajak yang benar, serta ketentuan perpajakan yang berlaku. Jika pengkreditan dilakukan atas transaksi fiktif, dokumen tidak lengkap, atau tidak sesuai aturan, maka DJP dapat mengategorikannya sebagai data konkret. Hal ini sering kali menjadi fokus utama pemeriksaan PPN.
6. Penghasilan Tidak atau Kurang Dilaporkan
Salah satu bentuk ketidakpatuhan paling umum adalah tidak melaporkan seluruh penghasilan. DJP dapat mendeteksi hal ini dari bukti potong yang dimiliki pihak lain atau dengan membandingkan data riil dengan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN). Jika ada selisih yang signifikan, maka selisih itu otomatis masuk ke dalam data konkret.
7. Data dari Ketetapan, Keputusan, atau Putusan Pengadilan yang Sudah Berkekuatan Hukum Tetap
Ketika pengadilan pajak atau lembaga terkait sudah mengeluarkan ketetapan atau keputusan yang final (inkrah), hasil tersebut memiliki kekuatan hukum yang tidak bisa diganggu gugat. DJP dapat langsung menggunakan data ini untuk menghitung kewajiban perpajakan wajib pajak terkait tanpa memerlukan verifikasi tambahan.
8. Data atau Keterangan yang Sudah Dikonfirmasi
Jika DJP telah mengonfirmasi suatu data dengan wajib pajak melalui proses komunikasi resmi, dituangkan dalam berita acara, tetapi wajib pajak tidak menindaklanjutinya sesuai kesepakatan, maka kondisi ini otomatis menjadi data konkret. Hal ini menunjukkan ketidakpatuhan langsung dari wajib pajak terhadap hasil konfirmasi.
Contoh Kasus Data Konkret dalam Praktik
Untuk memberikan gambaran lebih nyata, berikut contoh-contoh kasus yang sering terjadi di lapangan:
Contoh 1: Faktur Pajak Tidak Dilaporkan
Sebuah perusahaan jasa konsultan menerima faktur PPN dari rekanan senilai Rp200 juta yang sudah tervalidasi sistem DJP. Namun, dalam SPT Masa PPN, faktur tersebut tidak dicantumkan. Data ini otomatis muncul dalam sistem DJP dan menjadi bukti konkret adanya potensi ketidakpatuhan.
Contoh 2: Klaim Insentif Pajak yang Tidak Sah
Sebuah perusahaan rintisan mengajukan klaim insentif pajak untuk sektor tertentu. Setelah diverifikasi, ternyata perusahaan tidak masuk dalam kategori sektor penerima insentif. Oleh karena itu, klaim tersebut menjadi data konkret yang bisa memicu pemeriksaan.
Contoh 3: Penghasilan Kurang Dilaporkan
Seorang dokter praktik mandiri menerima bukti potong PPh 21 dari rumah sakit dengan nilai Rp500 juta. Namun, dalam SPT Tahunan, ia hanya melaporkan penghasilan sebesar Rp400 juta. Selisih Rp100 juta yang tercatat di DJP melalui bukti potong otomatis menjadi data konkret.
Contoh 4: Pengkreditan Pajak Masukan Tidak Sesuai
Perusahaan dagang mencoba mengkreditkan pajak masukan sebesar Rp150 juta, padahal transaksi yang mendasarinya tidak memenuhi ketentuan perpajakan. Hal ini terdeteksi dalam sistem DJP sebagai data konkret yang harus ditindaklanjuti.
Implikasi bagi Wajib Pajak
Kehadiran aturan PER-18/PJ/2025 membawa implikasi besar bagi wajib pajak. Salah satunya adalah meningkatnya transparansi DJP dalam menentukan dasar pengawasan atau pemeriksaan. Pemeriksaan yang dilakukan pun menjadi lebih fokus, yakni hanya pada pos tertentu atau data tertentu yang dianggap bermasalah, bukan menyeluruh.
Bagi wajib pajak, hal ini berarti bahwa setiap detail pelaporan, sekecil apa pun, harus dilakukan dengan teliti. Kesalahan atau kelalaian kecil dapat tercatat sebagai data konkret dan berujung pada pemeriksaan.
Mengingat kompleksitas aturan perpajakan, banyak wajib pajak yang membutuhkan pendampingan profesional untuk menghindari kesalahan. Di sinilah peran konsultan pajak sangat krusial.
Bagi Anda yang berdomisili di Surabaya, misalnya, ISB Consultant menawarkan layanan jasa pendampingan pelaporan pajak yang dapat membantu memastikan setiap kewajiban perpajakan dipenuhi dengan tepat. Dengan pendampingan ini, risiko terjerat pemeriksaan akibat data konkret bisa diminimalisasi.
Dengan semakin terperincinya aturan tentang data konkret pajak, setiap wajib pajak dituntut untuk lebih disiplin dan proaktif. Pemahaman yang mendalam mengenai jenis-jenis data konkret akan menjadi bekal penting untuk memastikan kepatuhan pajak sekaligus menghindari potensi sanksi di kemudian hari.
Baca juga: Harus Tahu! Aturan Baru Pemeriksaan Pajak PMK 15/2025