Perkembangan teknologi digital telah merevolusi cara masyarakat mengakses layanan keuangan. Munculnya bank digital sebagai inovasi terbaru di sektor perbankan menjadi solusi bagi kebutuhan nasabah yang menginginkan layanan cepat, mudah, dan efisien. Dengan beroperasi tanpa kantor fisik dan berbasis pada sistem digital sepenuhnya, bank digital berhasil menarik perhatian masyarakat luas, khususnya generasi muda dan pelaku usaha berbasis teknologi.
Namun, di balik pertumbuhan yang pesat tersebut, timbul tantangan dalam hal regulasi dan perpajakan. Pemerintah Indonesia menghadapi tugas penting dalam memastikan bahwa aktivitas ekonomi digital, termasuk perbankan digital, memberikan kontribusi yang adil terhadap penerimaan negara. Oleh karena itu, penting bagi para pelaku usaha dan profesional di sektor ini untuk memahami secara mendalam bagaimana sistem perpajakan diterapkan pada bank digital.
Kerangka Hukum Perpajakan Bank Digital
Pengenaan pajak terhadap bank digital di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kerangka hukum yang mengatur operasional serta perpajakan di sektor ekonomi digital. Regulasi utama yang menjadi acuan antara lain:
- POJK No. 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum yang menjelaskan klasifikasi, struktur permodalan, hingga tata kelola bank digital.
- PMK No. 48/PMK.03/2020 mengenai pemungutan PPN atas pemanfaatan barang dan/atau jasa digital dari luar negeri melalui sistem elektronik.
Selain itu, pengenaan pajak juga perlu memperhatikan kebijakan internasional, seperti OECD Pillar One dan Pillar Two yang mendefinisikan konsep “Significant Economic Presence (SEP)” untuk entitas asing yang memperoleh penghasilan di negara tertentu tanpa kehadiran fisik.
Jenis Pajak yang Berlaku untuk Bank Digital
Bank digital sebagai entitas usaha di sektor keuangan memiliki sejumlah kewajiban perpajakan yang perlu dipahami secara menyeluruh. Berikut adalah jenis-jenis pajak utama yang dikenakan:
1. Pajak Penghasilan (PPh) Badan
Sebagai badan usaha, bank digital wajib memenuhi kewajiban PPh Badan atas penghasilan kena pajak yang diperolehnya setiap tahun.
Contoh Perhitungan: Jika sebuah bank digital memiliki laba bersih sebesar Rp5 miliar dalam satu tahun pajak, maka:
- Tarif PPh Badan 2025 = 22%
- PPh Terutang = 22% x Rp5.000.000.000 = Rp1.100.000.000
Bagi entitas asing yang menjalankan kegiatan usaha di Indonesia secara digital tanpa kantor tetap, ketentuan SEP memungkinkan pemerintah mengenakan PPh berdasarkan jumlah pengguna aktif atau transaksi digital dari Indonesia.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Layanan keuangan tertentu yang disediakan secara digital dapat dikenakan PPN, khususnya bila layanan tersebut termasuk dalam kategori jasa kena pajak.
Contoh layanan:
- Biaya administrasi pengelolaan akun premium
- Layanan integrasi API untuk pelaku usaha
Jika layanan API dikenakan biaya Rp1.000.000 per bulan:
- PPN = 11% x Rp1.000.000 = Rp110.000
- Total tagihan ke pengguna = Rp1.110.000
3. Pajak atas Transaksi Elektronik
Selain PPN, transaksi digital tertentu seperti pembelian produk keuangan melalui aplikasi, misalnya reksa dana, obligasi digital, atau emas digital, juga tunduk pada ketentuan pajak transaksi sesuai regulasi produk tersebut.
Misalnya, penjualan reksa dana yang dikenakan pajak final 0,1% dari nilai penjualan:
- Nilai penjualan = Rp100.000.000
- Pajak = 0,1% x Rp100.000.000 = Rp100.000
Tantangan Pemajakan di Era Perbankan Digital
Meskipun memberikan banyak peluang, pengenaan pajak pada bank digital juga dihadapkan pada berbagai tantangan yang perlu segera diatasi oleh regulator dan pelaku usaha.
- Kompleksitas Regulasi: Perbedaan definisi antara kehadiran fisik (Permanent Establishment) dan kehadiran ekonomi signifikan menyebabkan kebingungan dalam penerapan pajak untuk pelaku bank digital lintas negara.
- Keterbatasan Infrastruktur: Masih banyak bank digital kecil atau layanan keuangan berbasis fintech yang belum memiliki sistem pelaporan pajak otomatis. Hal ini menyulitkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam pengawasan dan pemungutan pajak secara real-time. Keterbatasan Infrastruktur.
- Rendahnya Kepatuhan Wajib Pajak Digital: Kurangnya edukasi mengenai kewajiban perpajakan serta interpretasi hukum yang berbeda antar platform menyebabkan kepatuhan menjadi rendah, terutama dalam pelaporan transaksi digital secara lengkap dan akurat.Kurangnya edukasi mengenai kewajiban perpajakan serta interpretasi hukum yang berbeda antar platform menyebabkan kepatuhan menjadi rendah, terutama dalam pelaporan transaksi digital secara lengkap dan akurat.
Peluang Optimalisasi Penerimaan Negara
Meskipun memberikan banyak peluang, pengenaan pajak pada bank digital juga dihadapkan pada berbagai tantangan yang perlu segera diatasi oleh regulator dan pelaku usaha.
- Kompleksitas Regulasi: Perbedaan definisi antara kehadiran fisik (Permanent Establishment) dan kehadiran ekonomi signifikan menyebabkan kebingungan dalam penerapan pajak untuk pelaku bank digital lintas negara.
- Keterbatasan Infrastruktur: Masih banyak bank digital kecil atau layanan keuangan berbasis fintech yang belum memiliki sistem pelaporan pajak otomatis. Hal ini menyulitkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam pengawasan dan pemungutan pajak secara real-time.
- Rendahnya Kepatuhan Wajib Pajak Digital: Kurangnya edukasi mengenai kewajiban perpajakan serta interpretasi hukum yang berbeda antar platform menyebabkan kepatuhan menjadi rendah, terutama dalam pelaporan transaksi digital secara lengkap dan akurat.Kurangnya edukasi mengenai kewajiban perpajakan serta interpretasi hukum yang berbeda antar platform menyebabkan kepatuhan menjadi rendah, terutama dalam pelaporan transaksi digital secara lengkap dan akurat.
Kolaborasi Bersama Konsultan Pajak sebagai Solusi Strategis
Dalam menghadapi kompleksitas regulasi dan dinamika perpajakan di sektor digital, keberadaan konsultan pajak menjadi sangat krusial. Pelaku usaha, termasuk bank digital dan perusahaan fintech, sangat dianjurkan untuk berkonsultasi dengan pihak profesional yang memahami kebijakan fiskal terkini.
Salah satunya adalah konsultan pajak ISBC di Semarang, yang telah berpengalaman mendampingi klien dari berbagai sektor digital dalam mengelola kepatuhan pajaknya. Melalui pendampingan ISB Consultant, perusahaan dapat menghindari risiko sanksi, memahami kewajiban secara tepat, dan bahkan mengoptimalkan insentif pajak yang tersedia. Kolaborasi yang baik dengan konsultan pajak juga membantu membangun sistem pelaporan yang transparan dan akuntabel sejak awal.
Rekomendasi Kebijakan Pajak untuk Bank Digital
Agar sistem perpajakan Indonesia tetap adaptif terhadap perkembangan digital, beberapa rekomendasi kebijakan penting untuk dipertimbangkan:
- Reformasi Peraturan Perpajakan: Perlu penyesuaian pada UU PPh dan UU PPN agar memuat definisi eksplisit mengenai entitas digital, transaksi virtual, serta cakupan objek pajak digital.
- Integrasi Data dan AI: Pemanfaatan big data dan kecerdasan buatan oleh DJP untuk mengidentifikasi transaksi digital secara otomatis dan mendeteksi potensi penghindaran pajak.
- Edukasi dan Insentif untuk Pelaku UKM Digital: Pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi pelaku UKM yang taat pajak serta melakukan pelatihan berkala bekerja sama dengan asosiasi fintech dan bank digital.
Pengenaan pajak terhadap bank digital merupakan langkah krusial dalam membangun sistem fiskal yang inklusif dan relevan dengan perkembangan ekonomi digital. Meskipun masih terdapat sejumlah tantangan, peluang optimalisasi penerimaan negara dari sektor ini sangat besar. Dengan didukung reformasi regulasi, pembangunan infrastruktur digital fiskal, dan kolaborasi aktif antara pemerintah, pelaku usaha, dan konsultan pajak, pengenaan pajak terhadap bank digital akan semakin efektif dan berkeadilan.