Dalam era digitalisasi perpajakan, pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak semakin ketat. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus memperbarui regulasi untuk memastikan Pengusaha Kena Pajak (PKP) menjalankan kewajibannya sesuai ketentuan.
Salah satu kebijakan terbaru yang menuai perhatian adalah penerapan aturan mengenai penonaktifan akses faktur pajak bagi PKP yang tidak patuh. Aturan ini tidak hanya berdampak pada aspek administratif, tetapi juga berpotensi memengaruhi keberlangsungan usaha secara signifikan.
Faktur pajak merupakan komponen penting dalam transaksi bisnis, terutama bagi PKP yang menjalankan kegiatan usaha yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Tanpa akses terhadap sistem e-Faktur, PKP tidak dapat menerbitkan faktur pajak yang sah, sehingga berimplikasi langsung terhadap kredibilitas di mata mitra bisnis maupun pelanggan. Oleh karena itu, memahami kriteria yang dapat menyebabkan penonaktifan akses faktur pajak menjadi langkah penting agar tidak terjebak dalam sanksi administratif yang merugikan.
Latar Belakang Diterbitkannya Aturan Baru
Aturan baru mengenai penonaktifan akses faktur pajak tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2025. Regulasi ini merupakan tindak lanjut dari Pasal 65 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024. DJP diberikan kewenangan penuh untuk menonaktifkan akses pembuatan faktur pajak bagi PKP yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya.
Kebijakan ini diberlakukan mulai 22 Oktober 2025 dan menjadi bentuk konkret dari upaya pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan serta mengurangi potensi penyalahgunaan faktur pajak. Dengan adanya aturan ini, sistem administrasi perpajakan diharapkan semakin transparan, akuntabel, dan efisien.
6 Penyebab Penonaktifan Akses Faktur Pajak
DJP menetapkan enam kriteria utama yang menjadi dasar penonaktifan akses faktur pajak. Apabila suatu PKP memenuhi salah satu dari kriteria ini, maka akses e-Faktur dapat diblokir hingga kewajiban diselesaikan. Keenam kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tidak Melakukan Pemotongan atau Pemungutan Pajak Selama Tiga Bulan Berturut-turut
Setiap PKP yang memiliki kewajiban sebagai pemotong atau pemungut pajak harus melaksanakan tugas tersebut secara konsisten. Apabila dalam tiga bulan berturut-turut tidak melakukan pemotongan atau pemungutan untuk jenis pajak tertentu, DJP dapat menilai bahwa kegiatan usaha tidak berjalan aktif. Kondisi ini menjadi dasar kuat bagi penonaktifan akses faktur pajak.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan distribusi alat tulis memiliki kewajiban memungut PPh Pasal 23 atas pembayaran jasa pihak ketiga. Jika selama tiga bulan tidak ada laporan pemotongan pajak meskipun kegiatan usaha tetap berjalan, maka perusahaan tersebut berpotensi terkena sanksi berupa penonaktifan akses e-Faktur.
2. Tidak Menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh)
SPT Tahunan merupakan instrumen utama dalam pelaporan kewajiban pajak badan maupun perorangan. Ketidakpatuhan dalam menyampaikan SPT Tahunan menandakan adanya kelalaian serius. DJP memandang hal ini sebagai bentuk ketidakpatuhan material yang dapat memengaruhi validitas data perpajakan suatu PKP.
Apabila SPT Tahunan tidak disampaikan hingga batas waktu yang ditentukan, maka akses e-Faktur dapat dinonaktifkan sementara hingga kewajiban tersebut dipenuhi.
3. Tidak Menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Selama Tiga Bulan Berturut-turut
Bagi PKP yang aktif menjalankan kegiatan usaha, penyampaian SPT Masa PPN menjadi kewajiban rutin. Jika dalam tiga masa pajak berturut-turut tidak dilakukan pelaporan, DJP akan menganggap bahwa kegiatan usaha tidak aktif. Akibatnya, sistem secara otomatis dapat menonaktifkan hak akses faktur pajak PKP tersebut.
4. Tidak Menyampaikan SPT Masa PPN Selama Enam Masa Pajak dalam Satu Tahun Kalender
Selain tiga bulan berturut-turut, DJP juga menetapkan kriteria tambahan bagi PKP yang tidak menyampaikan SPT Masa PPN untuk enam masa pajak dalam satu tahun kalender. Ketentuan ini berlaku meskipun enam masa pajak tersebut tidak berurutan. Artinya, ketidakkonsistenan pelaporan sepanjang tahun juga dapat menjadi alasan penonaktifan.
5. Tidak Melaporkan Bukti Potong atau Bukti Pungut Pajak Selama Tiga Bulan Berturut-turut
Kewajiban melaporkan bukti potong atau bukti pungut merupakan bagian penting dari kepatuhan formal perpajakan. Laporan ini menunjukkan bahwa PKP telah menjalankan kewajiban sebagai pihak pemotong atau pemungut pajak atas transaksi tertentu. Apabila laporan tersebut tidak disampaikan selama tiga bulan berturut-turut, maka DJP berhak menonaktifkan akses e-Faktur.
6. Memiliki Tunggakan Pajak dengan Surat Teguran Aktif
PKP yang memiliki tunggakan pajak juga termasuk dalam daftar prioritas pengawasan. Berdasarkan PER-19/PJ/2025, penonaktifan dapat dilakukan apabila terdapat surat teguran atas tunggakan dengan nilai minimal Rp250 juta bagi wajib pajak di KPP Pratama, atau Rp1 miliar bagi wajib pajak yang terdaftar di KPP Madya maupun KPP Besar.
Sebagai ilustrasi, apabila sebuah perusahaan jasa konstruksi memiliki tunggakan PPN sebesar Rp500 juta dan telah diterbitkan surat teguran, maka akses faktur pajaknya dapat dinonaktifkan hingga tunggakan tersebut diselesaikan.
Prosedur Klarifikasi bagi PKP
DJP tetap memberikan kesempatan bagi PKP untuk melakukan klarifikasi sebelum penonaktifan diberlakukan secara final. Klarifikasi dapat dilakukan dengan mengajukan surat resmi kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar. Format surat tersebut telah ditentukan dalam lampiran Peraturan Dirjen Pajak.
Dalam surat klarifikasi, PKP dapat menyampaikan alasan, bukti pendukung, atau penjelasan terkait kondisi yang menyebabkan pemenuhan salah satu kriteria penonaktifan. Proses ini menjadi ruang bagi wajib pajak untuk menunjukkan itikad baik dan menghindari sanksi administratif lebih lanjut.
Dampak Penonaktifan bagi Dunia Usaha
Kehilangan akses faktur pajak bukan sekadar kendala administratif. Dampaknya dapat meluas pada kegiatan operasional perusahaan. Tanpa faktur pajak, perusahaan tidak dapat menerbitkan bukti pungutan PPN yang sah, sehingga transaksi dengan rekanan bisnis dapat tertunda.
Kondisi ini juga bisa menurunkan reputasi perusahaan di mata mitra bisnis karena dianggap tidak patuh terhadap regulasi perpajakan.
Selain itu, penonaktifan akses dapat berdampak pada keuangan perusahaan. Misalnya, perusahaan tidak bisa mengkreditkan Pajak Masukan yang timbul dari pembelian barang atau jasa karena tidak dapat membuat Faktur Pajak Keluaran yang valid. Akibatnya, beban pajak yang harus dibayar menjadi lebih tinggi.
Langkah Preventif untuk Hindari Penonaktifan Akses
Agar tidak terkena sanksi berupa penonaktifan akses faktur pajak, PKP disarankan untuk melakukan langkah-langkah berikut:
- Memastikan seluruh SPT Masa dan SPT Tahunan dilaporkan tepat waktu.
- Melakukan rekonsiliasi data transaksi dan pelaporan secara rutin.
- Memastikan bukti potong dan bukti pungut pajak dilaporkan dengan benar.
- Menyelesaikan tunggakan pajak sebelum jatuh tempo.
- Melakukan audit internal secara berkala untuk memastikan kepatuhan pajak.
Mengelola kewajiban perpajakan secara mandiri sering kali menimbulkan risiko kesalahan administratif yang berakibat fatal. Oleh karena itu, banyak perusahaan kini beralih menggunakan jasa konsultan pajak profesional untuk memastikan setiap kewajiban terpenuhi sesuai peraturan terbaru.
Salah satu penyedia layanan yang dikenal memiliki reputasi unggul adalah ISB Consultant, salah satu konsultan pajak Surabaya dengan rating tertinggi. Dengan pengalaman yang luas dan tim ahli bersertifikat, kami dapat membantu PKP dalam pengelolaan laporan, rekonsiliasi pajak, serta penyusunan strategi kepatuhan agar terhindar dari sanksi administratif seperti penonaktifan akses faktur pajak.
Urgensi Kepatuhan Pajak di Era Digital
Kebijakan terbaru DJP melalui PER-19/PJ/2025 menjadi pengingat bahwa kepatuhan pajak bukan lagi sekadar kewajiban, tetapi juga strategi keberlanjutan bisnis.
Dalam era di mana setiap aktivitas usaha terekam secara digital, perusahaan yang tidak disiplin dalam memenuhi kewajiban perpajakan berisiko kehilangan legitimasi di mata otoritas maupun publik.
Oleh karena itu, menjaga konsistensi pelaporan dan pemenuhan kewajiban pajak merupakan langkah strategis untuk memastikan bisnis tetap berjalan lancar dan terpercaya di mata regulator maupun mitra usaha.
Baca juga: Status PKP Bisa Dicabut Secara Jabatan? Ini Penjelasan PER-7/PJ/2025




